Kekerasan antara umat
Muslim dan Buddha di Myanmar semakin menjadi. Beberapa lembaga HAM
mengatakan bahwa ini adalah kekerasan sistematis yang dilakukan warga
dan pemerintah terhadap etnis Muslim Rohingya.
Banyak timbul
pertanyaan, mengapa umat Buddha yang menjunjung tinggi prinsip welas
asih mendadak brutal di Rakhine, Myanmar. Hal ini ternyata tidak lepas
dari peran seorang biksu yang dengan bangga menyebut dirinya sendiri
"Bin Laden dari Burma."
Biksu bernama asli Wirathu ini memang
dikenal radikal dan pembuat onar. Karena ulahnya itu, pada 2003 dia
ditahan dan divonis penjara 25 tahun oleh pemerintahan junta militer
Myanmar karena menghasut aksi kekerasan terhadap warga Muslim.
Masalahnya, dia dibebaskan tahun lalu bersama ratusan tahanan politik
lainnya sebagai salah satu bagian dari program reformasi demokrasi
Myanmar.
The Guardian dalam sebuah artikelnya mengulas
nama Wirathu mengemuka sejak 2001 lalu. Putus sekolah pada usia 14
tahun, dia lalu menjadi biksu di biara Mandalay. Wirathu dikenal kerap
membuat DVD anti Islam dan provokasi-provokasi lainnya di media sosial.
Sejak
bebas, pria 45 tahun ini menggagas "Gerakan 969", sebuah kampanye
memboikot umat Islam yang memicu kekerasan di Rakhine. Kampanye ini
menyerukan umat Buddha untuk tidak berbelanja di toko-toko orang Muslim,
juga tidak menikahi, mempekerjakan dan menjual properti kepada mereka.
Nama
"969" sendiri diambil Wirathu dari sembilan nama Buddha, enam langkah
Buddha dan sembilan jalan kebiksuan. Pendukung kampanye ini menempelkan
stiker bertuliskan "969" di toko-toko mereka, rumah, taksi dan bus,
menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut Wirathu.
Kemudian
terjadi pembantaian umat Muslim Rohingya di Rakhine. Sebanyak 43
orang--pria, wanita dan anak-anak--terbunuh saat itu. Puluhan ribu
Muslim Rohingya terpaksa hengkang. Peristiwa terbaru, sebanyak 25 Muslim
Rohingya dibantai di Meikhtila April lalu.
Human Right Watch dalam penyelidikannya menemukan adanya penyebaran leaflet anti
Islam berstempel 969 di Meikhtila, sebelum bentrok pecah. Puluhan saksi
juga menyatakan bahwa pemimpin massa adalah para biksu--yang seharusnya
jadi ikon demokrasi di Myanmar.
Tudingan Wirathu
Wirathu mengaku punya
alasan kuat mengapa dia menggelar kampanye itu. Seperti kelompok radikal
lainnya--dari kalangan dan agama apapun--kebanyakan alasannya tidak
bisa dibuktikan dan terdengar ngawur.
Salah satunya, menurut dia,
Muslim Rohingya memaksakan agama mereka pada orang lain dengan ancaman
pembunuhan dan perkosaan. Selain itu, dia mengatakan, cara Muslim
menyembelih hewan tidak bisa diterima umat Buddha.
"Pembunuhan
hewan oleh Muslim membuat orang familiar dengan darah. Hal ini akan
mengancam perdamaian dunia jika memuncak ke tingkat tertentu," ujarnya.
Masih
menurut dia, minoritas Muslim di Myanmar yang jumlahnya hanya lima
persen didanai oleh kekuatan di Timur Tengah. "Muslim lokal sangat kejam
karena ada kelompok ekstremis yang mengendalikan, membantu mereka
dengan dana, dan pelatihan militer," dia menuding.
Pemahaman Wirutha
ditentang oleh para pemuka Buddha di Myanmar, salah satunya datang biksu
Abbot Arriya Wuttha Bewuntha dari biara Myawaddy Sayadaw Mandalay. Dia
mengatakan bahwa apa yang disampaikan Wirathu mengarah pada kebencian,
bukan ini yang diajarkan Buddha.
"Ini bukanlah yang diajarkan
Buddha. Yang diajarkan Budha adalah kebencian itu tidak bagus, Karena
Buddha melihat semua orang setara. Buddha tidak menilai orang
berdasarkan agamanya," kata Bewuntha.
Hal yang sama dikatakan seorang penganut Zen Buddha dari Amerika Serikat, James Ure, dalam blognya www.thebuddhistblog.blogspot.com. Dia bahkan mengatakan bahwa dalam praktiknya, Wirathu bukan penganut Buddha.
"Mungkin
dia mengenakan jubah biksu, tapi dia tidak menyebarkan pesan yang
dibawa Buddha soal kasih sayang dan toleransi," kata Ure.
Pemerintah terlibat?
Kelompok HAM
internasional menyayangkan aksi kelompok Buddha radikal ini. Selain itu,
HRW mensinyalir pemerintah dan aparat keamanan Myanmar turut terlibat
dalam pembantaian Muslim Rohingya di negeri ini.
Beberapa saksi mata mengatakan tentara dan polisi Myanmar turut menyiksa dan
memperkosa wanita Rohingya. HRW mendesak pemerintah Myanmar bertindak mengatasi gelombang kebrutalan ini.
"Kampanye
969 lebih dari aksi boikot. Kampanye ini telah memicu kekerasan yang
tidak rasional," kata Jim Della-Giacoma, Direktur Asia Tenggara,
International Crisis Group.
Pengamat mengatakan bahwa
masyarakat internasional tidak boleh tebang pilih dan harus segera
mengambil langkah untuk menghentikan aksi Wirathu. Pasalnya, dia semakin
bebas menyuarakan kebencian dan hasutannya diamini oleh sejumlah biksu
lain di Myanmar.
"Jika gerakan kebencian
seperti '969' di Burma, katakanlah, terjadi di Eropa melawan orang
Yahudi, pasti tidak ada pemerintah Eropa yang membiarkannya," kata
aktivis Myanmar dari London School of Economics, Maung Zarni. "Lalu
kenapa sekarang Uni Eropa tidak menanggapinya dengan serius? Padahal ini
terjadi di negara penerima dana bantuan besar dari Eropa."(np)