Minggu, 02 Juni 2013

Provokator tragedi di myanmar


Kekerasan antara umat Muslim dan Buddha di Myanmar semakin menjadi. Beberapa lembaga HAM mengatakan bahwa ini adalah kekerasan sistematis yang dilakukan warga dan pemerintah terhadap etnis Muslim Rohingya.

Banyak timbul pertanyaan, mengapa umat Buddha yang menjunjung tinggi prinsip welas asih mendadak brutal di Rakhine, Myanmar. Hal ini ternyata tidak lepas dari peran seorang biksu yang dengan bangga menyebut dirinya sendiri "Bin Laden dari Burma."

Biksu bernama asli Wirathu ini memang dikenal radikal dan pembuat onar. Karena ulahnya itu, pada 2003 dia ditahan dan divonis penjara 25 tahun oleh pemerintahan junta militer Myanmar karena menghasut aksi kekerasan terhadap warga Muslim. Masalahnya, dia dibebaskan tahun lalu bersama ratusan tahanan politik lainnya sebagai salah satu bagian dari program reformasi demokrasi Myanmar.

The Guardian dalam sebuah artikelnya mengulas nama Wirathu mengemuka sejak 2001 lalu. Putus sekolah pada usia 14 tahun, dia lalu menjadi biksu di biara Mandalay. Wirathu dikenal kerap membuat DVD anti Islam dan provokasi-provokasi lainnya di media sosial.

Sejak bebas, pria 45 tahun ini menggagas "Gerakan 969", sebuah kampanye memboikot umat Islam yang memicu kekerasan di Rakhine. Kampanye ini menyerukan umat Buddha untuk tidak berbelanja di toko-toko orang Muslim, juga tidak menikahi, mempekerjakan dan menjual properti kepada mereka.

Nama "969" sendiri diambil Wirathu dari sembilan nama Buddha, enam langkah Buddha dan sembilan jalan kebiksuan. Pendukung kampanye ini menempelkan stiker bertuliskan "969" di toko-toko mereka, rumah, taksi dan bus, menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut Wirathu.

Kemudian terjadi pembantaian umat Muslim Rohingya di Rakhine. Sebanyak 43 orang--pria, wanita dan anak-anak--terbunuh saat itu. Puluhan ribu Muslim Rohingya terpaksa hengkang. Peristiwa terbaru, sebanyak 25 Muslim Rohingya dibantai di Meikhtila April lalu.
Human Right Watch dalam penyelidikannya menemukan adanya penyebaran leaflet anti Islam berstempel 969 di Meikhtila, sebelum bentrok pecah. Puluhan saksi juga menyatakan bahwa pemimpin massa adalah para biksu--yang seharusnya jadi ikon demokrasi di Myanmar.
Tudingan Wirathu
Wirathu mengaku punya alasan kuat mengapa dia menggelar kampanye itu. Seperti kelompok radikal lainnya--dari kalangan dan agama apapun--kebanyakan alasannya tidak bisa dibuktikan dan terdengar ngawur.

Salah satunya, menurut dia, Muslim Rohingya memaksakan agama mereka pada orang lain dengan ancaman pembunuhan dan perkosaan. Selain itu, dia mengatakan, cara Muslim menyembelih hewan tidak bisa diterima umat Buddha.

"Pembunuhan hewan oleh Muslim membuat orang familiar dengan darah. Hal ini akan mengancam perdamaian dunia jika memuncak ke tingkat tertentu," ujarnya.

Masih menurut dia, minoritas Muslim di Myanmar yang jumlahnya hanya lima persen didanai oleh kekuatan di Timur Tengah. "Muslim lokal sangat kejam karena ada kelompok ekstremis yang mengendalikan, membantu mereka dengan dana, dan pelatihan militer," dia menuding.
Pemahaman Wirutha ditentang oleh para pemuka Buddha di Myanmar, salah satunya datang biksu Abbot Arriya Wuttha Bewuntha dari biara Myawaddy Sayadaw Mandalay. Dia mengatakan bahwa apa yang disampaikan Wirathu mengarah pada kebencian, bukan ini yang diajarkan Buddha.

"Ini bukanlah yang diajarkan Buddha. Yang diajarkan Budha adalah kebencian itu tidak bagus, Karena Buddha melihat semua orang setara. Buddha tidak menilai orang berdasarkan agamanya," kata Bewuntha.

Hal yang sama dikatakan seorang penganut Zen Buddha dari Amerika Serikat, James Ure, dalam blognya www.thebuddhistblog.blogspot.com. Dia bahkan mengatakan bahwa dalam praktiknya, Wirathu bukan penganut Buddha.

"Mungkin dia mengenakan jubah biksu, tapi dia tidak menyebarkan pesan yang dibawa Buddha soal kasih sayang dan toleransi," kata Ure.
Pemerintah terlibat?
Kelompok HAM internasional menyayangkan aksi kelompok Buddha radikal ini. Selain itu, HRW mensinyalir pemerintah dan aparat keamanan Myanmar turut terlibat dalam pembantaian Muslim Rohingya di negeri ini.

Beberapa saksi mata mengatakan tentara dan polisi Myanmar turut menyiksa dan memperkosa wanita Rohingya. HRW mendesak pemerintah Myanmar bertindak mengatasi gelombang kebrutalan ini.

"Kampanye 969 lebih dari aksi boikot. Kampanye ini telah memicu kekerasan yang tidak rasional," kata Jim Della-Giacoma, Direktur Asia Tenggara, International Crisis Group.
Pengamat mengatakan bahwa masyarakat internasional tidak boleh tebang pilih dan harus segera mengambil langkah untuk menghentikan aksi Wirathu. Pasalnya, dia semakin bebas menyuarakan kebencian dan hasutannya diamini oleh sejumlah biksu lain di Myanmar.
"Jika gerakan kebencian seperti '969' di Burma, katakanlah, terjadi di Eropa melawan orang Yahudi, pasti tidak ada pemerintah Eropa yang membiarkannya," kata aktivis Myanmar dari London School of Economics, Maung Zarni. "Lalu kenapa sekarang Uni Eropa tidak menanggapinya dengan serius? Padahal ini terjadi di negara penerima dana bantuan besar dari Eropa."(np)

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar